27 Mar 2014

BUFFER HEMOGLOBINE


Oke teman – teman , untuk memenuhi tugas 3 dari bapak aziz, saya akan membahas tentang buffer dan mekanismenya didalam tubuh. Petama perlu diketahui bahwa Buffer atau larutan penyangga merupakan larutan yang dapat mempertahankan pH nya bila ditambah sedikit asam kuat, basa kuat, atau diencerkan. Di dalam tubuh kita itu mempunyai sejumlah larutan penyangga ( buffer ) untuk menyeimbangkan perubahan tiba-tiba  dalam pembentukn H+. Protein dapat berperan sebagai buffer, dan hemoglobin dalam eritrosit memiliki kapasitas yang besar untuk mengikat H+. Untuk menjaga pH darah agar stabil maka dalam darah terdapat sistem penyangga antara lain asam bikarbonat, hemoglobin, dan oksihemoglobin. Dalam sel darah merah terdapat sistem penyangga sebagai berikut :
H3PO4- + H2O → HPO42- + H3O+
Ada beberapa faktor yang terlibat dalam pengendalian pH darah, diantaranya penyangga karbonat, penyangga hemoglobin dan penyangga fosfat. Tapi disini saya akan membahas tentang buffer hemoglobin saja.

A.    Buffer Hemoglobin
Pertama pada darah, terdapat hemoglobin yang dapat mengikat oksigen untuk selanjutnya  dibawa ke seluruh sel tubuh. Reaksi kesetimbangan dari larutan penyangga oksi hemoglobin adalah:
HHb + O2 (g) → HbO2- + H+
Asam hemoglobin            ion oksi hemoglobin
Keberadaan oksigen pada reaksi di atas dapat mempengaruhi konsentrasi ion H+, sehingga pH darah juga dipengaruhi olehnya. Pada reaksi di atas O2 bersifat basa. Hemoglobin yang telah melepaskan O2  dapat mengikat H+ dan  membentuk asam hemoglobin. Sehingga ion H+ yang dilepaskan pada  peruraian H2CO3  merupakan asam yang diproduksi oleh CO2 yang terlarut  dalam air saat metabolisme. 

B.     Hemoglobin
a.    Pengertian Hemoglobin ( Hb )
        Hemoglobin adalah metal-protein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin  terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan  satu atom besi.

b.    Struktur Hemoglobin
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme. Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer ( mengandung 4 subunit protein ), yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit - subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi sekitar 64,000 Dalton. Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen:
(1)   Reaksi bertahap dapat dinayatakan dalam persamaan reaks kesetimbangan:
·     Hb + O2 -> Hbo2
·     HbO2 + O2 -> Hb (O2)2
·     Hb (O2)2 + O2 -> Hb (O2)3
·     Hb (O2)3 + O2 -> Hb (O2)4
(2)   Reaksi keseluruhan:
·    Hb + 4O2 ->Hb (O2)4
Penggabungan oksigen dengan molekul hemoglobin ( Hb ) merupakan reaksi yang sangat kompleks. HbO2 adalah oksihemoglobin, kompleks hemoglobin yang menjadi alat transportasi oksigen ke jaringan. Tetapan kesetimbangannya adalah sebagai berikut :
Kc = [HbO2] per [HbO2] [O2]
Menurut prinsip Le Chatelier, pengurangan konsentrasi oksigen akan menggeser kesetimbangan diatas dari kanan ke kiri. Hal ini mengakibatkan berubahnya kadar oksigen hemoglobin , tubuh memerlukan waktu yang lama. Kesetimbangan akan bergeser dari kiri ke kanan sejalan dengan terbentuknya oksihemoglobin. Penambahan jumlah hemoglobin sangat lambat yaitu dua sampai tiga minggu untuk membentuknya. Terkadang untuk mengembalikan kadarnya ke kondisi normal dibutuhkan beberapa tahun.

C.     Mekanisme Buffer Hemoglobin
Repiratory motion of hemoglobin adalah proses pengikatan dan pelepasan molekul oksigen dari hemoglobin yang melibatkan perubahan spesifik pada struktur molekularnya. Apabila hemoglobin berubah dari bentuk  deoxyhemoglobin  kepada bentuk  oxyhemoglobin, karbon dioksida, CO2 dan 2,3-DPG akan terlepas dari posisi asalnya yaitu di antara rantai β-globin lalu membuka molekul heme untuk menerima oksigen. Seterusnya, oksigen yang berikatan dengan salah satu kelompok heme akan meningkatkan afinitas dari kelompok heme yang lain kepada oksigen. Interaksi inilah yang menyebabkan terjadinya bentuk ” sigmoid ”
Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun jenis bahan makanan yang dimakan. 
Pada pekerja-pekerja berat termasuk atlit lebih banyak membutuhkan oksigen dibanding pekerja ringan. Demikian juga seseorang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan sendirinya membutuhkan oksigen lebih banyak. Selanjutnya, seseorang yang memiliki kebiasaan memakan lebih banyak daging akan membutuhkan lebih banyak oksigen daripada seorang vegetarian. 
Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari ( 24 jam ) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang.  Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau pigmen darah ( hemoglobin ) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh. Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun oleh senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan globin yang berupa protein. Pertukaran O2 dan CO2 antara alveolus dan Pembuluh darah yang menyelubungi  Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat diperlihat-kan menurut persamaan reaksi bolak-balik berikut ini :
Hb4 + O2 4 Hb O2 ( oksihemoglobin ) berwarna merah jernih
Reaksi di atas dipengaruhi oleh kadar O2, kadar CO2, tekanan O2 ( P O2 ), perbedaan kadar O2 dalam jaringan, dan kadar O2 di udara. Proses difusi oksigen ke dalam arteri demikian juga difusi CO2 dari arteri dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam udara inspirasi.  Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfir atau 760 mm Hg, sedangkan tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mm Hg. Tekanan oksigen di lingkungan lebih tinggi dari pada tekanan oksigen dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mm Hg. Oleh karena itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi.  Dari paru-paru, O2 akan mengalir lewat vena pulmonalis yang tekanan O2 nya 104 mm; menuju ke jantung. Dari jantung O2 mengalir lewat arteri sistemik yang tekanan O2 nya 104 mm hg menuju ke jaringan tubuh yang tekanan O2 nya 0 - 40 mm hg. Di jaringan, O2 ini akan dipergunakan. Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke jantung. Tekanan CO2 di jaringan di atas 45 mm hg, lebih tinggi dibandingkan vena sistemik yang hanya 45 mm Hg. Dari jantung, CO2 mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan O2 nya sama yaitu 45 mm hg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru lalu dilepaskan ke udara bebas. Setiap 100 mm3 darah dengan tekanan oksigen 100 mm Hg dapat mengangkut 19 cc oksigen. Bila tekanan oksigen hanya 40 mm Hg maka hanya ada sekitar 12 cc oksigen yang bertahan dalam darah vena. Dengan demikian kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen adalah 7 cc per 100 mm3 darah.  Pengangkutan sekitar 200 mm3 C02 keluar tubuh umumnya berlangsung menurut reaksi kimia berikut:  C02 + H20 Þ ( karbonat anhidrase ) H2CO3  Tiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3 cc CO2 sehingga mempengaruhi pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam karbonat. 
Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 Cara yakni sebagai berikut :
a.  Karbon dioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat dengan enzim anhidrase ( 7% dari seluruh CO2 ).  
b.   Karbon dioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin ( 23% dari seluruh CO2 ). 
c.   Karbon dioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat ( HCO3 ) melalui proses berantai pertukaran klorida ( 70% dari seluruh CO2 ).
Reaksinya adalah sebagai berikut :
CO2 + H2O Þ H2CO3 Þ H+ + HCO-3
Gangguan terhadap pengangkutan CO2 dapat mengakibatkan munculnya gejala asidosis karena turunnya kadar basa dalam darah. Hal tersebut dapat disebabkan karena keadaan Pneumoni. Sebaliknya apabila terjadi akumulasi garam basa dalam darah maka muncul gejala alkalosis.
            Nah sekian tugas ini saya buat, semoga bermanfaat ya teman – teman.
            Ini nih daftar pustakanya :
Kalsum, Siti, dkk. 2009. Kimia 2. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Girindra, A. 1986. Biokimia I. Gramedia, Jakarta.
Kennelly PJ, Rodwell VW. Protein: Myoglobin & hemoglobin. In: Murray RK, Granner DK, Rodwell VW, editors. Harper’s Illustrated Biochemistry. 27th ed. United States: The McGraw-Hill Companies, 2006: 41-8.
Sumardjo, Drs. Damin. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran.
Hall E.guyton and hall buku saku fisiologi kedokteran : transport oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan jaringan. 11th ed. Jakarta : ECG, 2007.
Sherwood L.human physiologi : the respiratory system. 7Th ed. Canada : brooks / cole, 2010.







24 Mar 2014

( Tugas 2 ) Pemeriksan Protein Urine


I. PENDAHULUAN
         Mengingat pemeriksaan reduksi urine ini paling banyak mendeteksi gula dalam urine, maka perlu kiranya teori tentang gula diurine disinggung. Gula yang biasa terdeteksi melalui pemeriksaan urine adalah glukosa, maka adanya glukosa dalam urine disebut Glukosuria.

A.    Penyebab terjadinya glukosuria adalah
a.       Kadar glukosa darah ( khususnya darah arteri yang sampai pada glomerulus )
b.      Daya filtrasi ginjal terhadap glukosa
·         Besarnya daya filtrasi ginjal terhadap glokosa ± 140 – 160 mg% ( untukmaterial darah )
·         Untuk material plasma 170 mg%
c.       Daya reabsorbsi tubulus ginjal
Besarnya daya reabsorbsi 300 – 400 mg/dl, tetapi hal ini juga dipengaruhi dieresis ( banyaknya volume urine yang dikeluarkan )

B.     Macam – macam glukosuria
a.       Glukosuria tanpa hiperglikemi
Artinya : adanya glukosa dalam urine lebih dari normal, tetapi kadar glukosa dalam darah normal.
Contoh penyakit :
·         Renal glukosuria
·         Glukosuria pada ibu hamil
·         Glukosuria alimentair
·         Glukosuria pada syndrome FAneoni
b.      Glukosuria dengan hiperglikemi
Artinya : adanya glukosa dalam urine lebih dari normal, disertai peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Contoh penyakit :
·         Diabetes mellitus
·         Penyakit hepar
·         Asidosis 

C.     Syarat pemeriksaan reduksi
a.       Urine segar
Alasanya : jika urine lama maka bakteri akan berkembangbiak sehingga glukosa dalam urine akan dirubah menjadi asam pyruvat dan asam laktat, maka hasil menjadi (-) palsu.
b.      Urine Jernih
Alasanya : jika urine keruh maka menyebabkan hasil (+) palsu, karena yang dibaca adalah kekeruhan / endapan yang berwarna.
c.       Urine tidak mengandung protein tinggi
Alasannya : protein yang tinggi akan mereduksireagen pada pemeriksaan ini sehingga hasil (+) palsu
d.      Perbandingan reagen dengan urine harus sesuai.
e.       Pemanasan urine harus mendidih betul

D.    Pemeriksaan Reduksi
Ada beberapa macam metode pemeriksaan reduksi
a.       Bersifat spesifik ( bisanya reaksinya enzimatik ), contoh :
·         Test Tape
·         Test B.M
·         Test Clinistix
·         Gala test
b.      Bersifat non spesifik, contoh :
·         Test Benedict
·         Test Fehling
·         Test Nylander
·         Clinis test
         
II. PRAKTIKUM
Disini saya akan menguraikan cara pemeriksaan reduksi urine dengan metode Benedict dah Fehling. 

A.    Metode Benedict
a.        Tujuan Pemeriksaan :
Untuk menentukan adanya glukose dalam urin secara semi kuantitatif
b.        Prinsip Pemeriksaan :
Gukosa dapat mereduksi kupri dalam reagen benedict dalam larutan alkalis sehingga terjadi perubahan warna, dengan melihat warna yang terjadi dapat di perkirakan kadar glukosa dalam urin
c.        Bahan Pemeriksaan :
Urine segar
d.        Alat dan Reagen :
·           Alat      : Tabung reaksi, pipet, penangas air / lampu spiritus, penjepit tabung
·           Reagen : Reagen Benedict
e.       Cara Pemeriksaan :
·           Masukkan 5ml atau 2,5ml reagen benedict kedalam tabung reaksi
·           Teteskan 8 tetes urin kedalamnya (untuk 5ml reagen) atau 4 tetes urin (untuk 2,5ml reagen)
·           Masukkan tabung ke dalam penangas air selama 5 menit atau panaskan di tas nyala lampu api spiritus sampai terbentyk gelembung
·           Angkat dan kocok isi tabung lalu di dinginkan
·           Setelah dingin, baca hasil reaksinya dengan terlebih dahulu mengosok isi tabung
f.        Pelaporan Hasil Pemeriksaan :
·           Negatif (-) : bila larutan tetap berwarna biru jernih atau sedikit kehijau-hijauan dan agak keruh
·           Positif (+)  : bila larutan berwarnahijau kekuning-kuningan dan keruh, kadar glukosa 0,5-1gr%
·           Positif (+ +)    : bila larutan berwarna kuning keruh, kadar glukosa 1-1,5 gr%
·           Positif (+ + +) : bila warna larutan jingga atau warna lumpur keruh, kadar glukosa 2-3,5gr%
·           Positif (++++) : bila wana merah keruh, kadar glukosa >3,5 gr%




B.     Metode Fehling
a.      Tujuan
Untuk memeriksa adanya kandungan glukosa dalam sampel urine.
b.      Prinsip Pemeriksaan
Dalam suasana alkali, glukosa mereduksi kupri menjadi kupro kemudian membentuk Cu2O yang mengendap dan berwarna merah. Intensitas warna merah dari ini secara kasar menunjukkan kadar glukosa dalam urine yang diperiksa.
c.      Alat dan Bahan
·         Alat : Tabung reaksi, api bunsen, pipet volume, Ball filler
·         Bahan : Sampel urine, Reagen Fehling A dan Fehling B
d.     Cara Kerja
·         Dipipet 1 ml fehling A dan Fehling B, dan dicampurkan dalam tabung reaksi hingga homogen (untuk pemeriksaan tiga sampel)
·         Dipipet masing-masing 1 ml larutan tersebut ke dalam tiga tabung reaksi
·         Ditambahkan masing-masing 0,5 ml sampel urine ke dalam tiga tabung reaksi tersebut
·         Ketiga tabung dipanaskan di atas api bunsen hingga mendidih
·         setelah dingin, diamati perubahan warna yang terjadi pada ketiga tabung.
e.      Interpretasi :
·         (-)               : warna biru / hijau keruh
·         (+)                          : larutan keruh dan hijau agak kuning
·         (++)           : kuning kehijauan dengan endapan kuning
·         (+++)         : kuning kemerahan dengan endapan kuning merah
·         (++++)        :  merah jingga sampai merah bata

III.             Pembahasan
Urin atau air seni adalah cairan yng diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan dari dalam tubuh. Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urin disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, dan akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra. Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti urea), garam terlarut, dan materi organik. Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari darah atau cairan interstisial (Chernecky and Berger, 2008).
Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh. Materi yang terkandung di dalam urin dapat diketahui melalui urinalisis. Urea yang dikandung oleh urin dapat menjadi sumber nitrogen yang baik untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan kompos Dari urin kita bisa memantau penyakit melalui perubahan warnanya. (Chernecky and Berger, 2008).
Diabetes adalah suatu penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin seorang penderita diabetes akan mengandung gula yang tidak akan ditemukan dalam urin orang yang sehat. Pemeriksaan terhadap adanya glukosa dalam urine termasuk pemeriksaan penyaring. Untuk menyatakan keberadaan suatu glukosa, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda- beda. Cara yang tidak spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan suatu zat dalam reagen yang berubah sifat dan warnanya jika direduksi oleh glukosa. Diantaranya adalah penggunaan reagen fehling yang dapat dipakai untuk menyatakan adanya reduksi yang mengandung garam cupri. Sedangkan pembuktian glukosuria secara spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan enzim glukosa oxidase (Prasetya, 2011).
Tes glukosa urin dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi reduksi, dikerjakan dengan menggunakan fehling, benedict, dan clinitest. Ketiga jenis tes ini dapat digolongkan dalam jenis pemeriksaan semi-kuantitatif. Sedangkan tes glukosa dengan reaksi enzimatik dilakukan dengan metode carik celup yang tergolong dalam pemeriksaan semi-kuantitatif dan kuantitatif (Subawa.2010). Pereaksi fehling terdiri dari dua bagian, yaitu fehling A dan fehling B. Fehling A adalah larutan CuSO4, sedangkan fehling B merupakan campuran larutan NaOH dan kalium natrium tartrat. Pereaksi fehling dibuat dengan mencampurkan kedua larutan tersebut, sehingga diperoleh suatu larutan yang berwarna biru tua. Dalam pereaksi fehling, ion Cu2+ terdapat sebagai ion kompleks. Pereaksi fehling dapat dianggap sebagai larutan CuO (Anonim, 2010).
Dalam pemeriksaan reduksi / glukosa urine banyak reagen akan dipilih, namun reagen yang mengandung garam cupri yang paling baik untuk menyatakan adanya zat – zat reduksi dalam urine. Hal ini dikarenakan adanya zat reduktor akan meruduksi Cupri Sulfat ( CuSO4 ) dan Cupro Oksida  Cu2O), Cupro oksida yang terbentuk akan menimbulkan warna dari hijau samapai merah bata.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan reduksi, yaitu : metode benedict banyak digunakan di laboratorium klinik bila dibandingkan dengan metode fehling, hal ini disebabkan :
1.      Kadar asam urat dan kreatinin yang tinggi tidak dapat mereduksi benedict, tetapi dapat mereduksi reagen fehling.
2.      Pada benedict hanya menggunakan 1 macam reagen sedangkan metode fehling menggunakan 2 macam reagen.
3.      Reaksi benedict lebih sensitive dibandingkan dengan fehling.
4.      Reaksi benedict dapat digunakan untuk menaksirkan kadar glukosa secara kasar.
5.      Pemakaian bahan urine sedikit.
Dalam pemeriksaan reduksi pengawet yang paling baik adalah NaF ( Natrium  Florida ) karena pengawet ini mampu mencegah terjadinya glikolisis yaitu perombakan glukosa menjadi asam pyruvat dan asam laktat, dimana keadaan ini bisa menyebabkan hasil (-) palsu. Sedangkan urine yang terbaik yaitu Urine prospandial ( urine 1,5 – 3 jam setelah makan ), karena diperkirakan pada urine ini akan banyak mengandung glukosa.

Sumber :
http://lailanihikari.wordpress.com/category/analis-kesehatan/kimia-klinik/
http://smart-fresh.blogspot.com/2012/06/tes-glukosa-urine-fehling-benedict.html
Buku Petunjuk Praktikum Kimia Klinik ( Urinalisa Rutin ) Sekolah Menengah Analis Kesehatan Nasional Surakarta.